Sabtu, 18 Oktober 2014

Dua Dari Sepuluh

Salah satu kendala yang dihadapi seorang pengusaha adalah soal tenaga kerja, terlebih yang menyangkut produk hand made seperti Cantiq butikku.  Sampai 'terbit'lah sebuah angka statistik yang dihasilkan dari proses pengamatan selama bertahun-tahun, yaitu angka "dua dari sepuluh".  Maksudnya , diantara sepuluh orang yang melamar kerja di Cantiq butik , hanya dua orang yang akhirnya mau bekerja dan menjalani masa uji coba, dan diantara sepuluh orang yang menjalani masa uji coba, hanya dua orang yang serius bekerja untuk seterusnya.  Meskipun angka tersebut bukan patokan yang baku, tapi setidaknya jadi hiburan saat tidak kunjung mendapat karyawan baru sementara kebutuhan akan karyawan begitu mendesak.

Suamiku menyebutnya seleksi alam.  Demikian juga saat mencari sales dan pramuniaga untuk Innuri brownies.  Sampai sekarang aku belum menemukan sales yang benar-benar bekerja dengan serius, padahal gaji dan bonusnya termasuk gede untuk ukuran Malang, bahkan gede sekali bila dibandingkan dengan sales dari pabrik roti yang sudah menasional.

Tapi bila angka dua dari sepuluh ini diterapkan pada produk, maka komposisinya jadi terbalik, bila mau produk kita diterima pasar.  Maksudnya begini , sebuah produk yang hendak diluncurkan musti melewati masa uji coba dulu ke minimal 10 orang secara acak, dan diantara 10 orang itu , maksimal harus hanya ada dua orang yang mengatakan produk kita jelek.


Innuri brownies pisang

Demikian juga saat aku meluncurkan brownies pisangku, sebelumnya aku uji coba ke orang-orang terdekat dengan strata yang berbeda, mulai dari anak , suami,  karyawan , tetangga dan  pelangganku yang berasal dari kalangan diatas menengah.  Aku berikan tester kepada seorang pelanggan yang tinggal di perumahan elite dan seleranya terhadap makanan musti nomor satu (kue yang dia konsumsi musti menggunakan mentega wijsman katanya).  Aku sudah tidak berharap dibilang enak oleh pelanggan satu itu, tapi reaksinya sungguh tak kusangka.

"Enak kok, besok aku pesan 12 yaaa, untuk kubawa ke Babel buat oleh-oleh", katanya ringan, membuat hatiku begitu legaaaaaa !!!


Innuri chocco brownies

Setelah melewati proses uji coba ke minimal 10 orang dan ternyata mereka semua bilang enak, barulah aku yakin untuk memproduksi dan serius menjalankan Innuri brownies. Tapiiii .....

Tapi ternyata , angka dua dari sepuluhnya mulai kelihatan saat produk sudah aku jalankan ... hehehe.  Tapi mungkin  bukan dua dari sepuluh, tapi seperdua dari sepuluh, atau satu dari dua puluh orang saja yang bilang negatif tentang produkku.  Dan itu wajar, tidak semua orang bisa menerima produk kita seperti juga tidak semua orang bisa cocok dengan kita secara pribadi (eits, kok dikaitkan dengan hal pribadi yaaa?)

Saat pameran kemarin, aku menyediakan tester di stand, dari banyak orang yang mencicipi testerku selama seharian, satu orang bilang begini : "Ini kukus apa oven?".
"Oven", jawabku, lalu dia mengunyah browniesku.
"Aaah , kayak amanda gini loh", katanya gak percaya kalau browniesku oven.
"Memang ada kandungan air dari pisangnya , jadi kayak kukus", jawabku, dan beliau mencep (mewek) tidak percaya, lalu berlalu.  Untung aku sudah dibekali dengan angka dua dari sepuluh, jadi tenaaaaang saja ada orang seperti itu.  Biarin saja , gak usah sakit hati ngurusin satu orang , wong yang lain masih beli dan beli lagi, bahkan ada yang sampai balik 4 kali selama 5 hari pameran.

Demikian juga saat aku melayani pesanan online. Dari berpuluh pesanan yang sempat aku layani, banyak yang memuji dan bilang akan berlangganan, ada yang nggak merespon dan ada satu yang bilang negatif, katanya rasanya aneh dan dibiarkan sampai berlendir (padahal browniesku kalau kadaluwarsa tidak berlendir, melainkan berjamur).  Seperti itulah kenyataannya, tidak semua orang merasa sesuai dengan produk kita, tapi sejauh hanya dua dari sepuluh yang bilang tidak sesuai, maka the show must go on ..... hahaha. Lain halnya bila hanya dua dari sepuluh yang bilang produk kita sesuai, mungkin perlu dipikirkan untuk membuat produk yang lain saja.

Sales dan pramuniaga kitapun musti dibekali dengan pengetahuan tentang dua dari sepuluh dan sekaligus bisa menjawab dengan diplomatis pada saat menghadapi konsumen.

Eyang punya kenalan seorang pengusaha yang punya peternakan susu sekaligus pengolahannya menjadi susu pasteurisasi dengan bermacam rasa.  Suatu saat eyang diberi tester susu coklat dan diminta mengkritisi testernya.

"Coklatnya kurang berasa", kata eyang jujur.
"Berarti itu sudah bener, karena rasa susu murninya musti lebih menonjol dibanding coklatnya", jawab pengusaha itu diplomatis.

Kemampuan merubah kritik menjadi selling point inilah yang musti diajarkan kepada sales dan pramuniaga kita.

Suatu saat seorang salesku melaporkan kalau ada yang mengkritik bila rasa brownies duriannya kurang nendang (tapi kenyataannya tiap hari brownies durian yang dia bawa habis)..... Aku bilang begini : "Mestinya tadi kamu bilang  karena memang menggunakan durian asli, tidak pakai essens. Dan bila durian sudah bercampur telur, mentega dan terigu, lalu dioven,  tentu saja rasanya tidak bisa semurni durian asli".

Nah kan ? ternyata aku bisa merubah kritik menjadi selling point  dan akupun tidak berbohong. 

2 komentar:

  1. keren banget mbaaak, asli memang mental yang harus dimiliki pengusaha tuh kayak gini ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mental baja ya mb Fenny ....berarti makanannya harus bijih besi dong ..... hahhahaha becandaaaa.

      Hapus